Thursday, December 30, 2010

Cikal Bakal Buku 'Self Loving Theory' (12 Oktober 2006)

Saya adalah seorang manusia yang penuh cinta. Saya mencintai sepakbola, saya mencintai orangtua dan saudara-saudara saya, saya mencintai sahabat-sahabat saya, termasuk satu-satunya anjing dalam hidup saya. Tapi yang lebih saya cintai dari segalanya adalah diri saya sendiri. Bahkan, sebenarnya, saya tidak terlalu percaya ada orang yang bisa mencintai orang lain lebih dari dirinya sendiri.

Saya mencintai diri saya. Karena itu pulalah saya dengan senang hati akan bercerita tentang diri saya. Tulisan ini pasti menunjukkan bahwa saya adalah orang yang memuakkan. Tapi saya senang bila orang-orang muak pada saya. Di samping itu, saya juga adalah seorang yang menyenangkan dan saya senang bila orang senang  dengan kehadiran saya, atau karena apa yang saya lakukan. Intinya, saya mencintai diri saya tidak perduli apapun yang saya lakukan, sebabkan, akibatkan, dan orang lain rasakan. Saya egois.

Cinta saya terhadap diri sendiri seperti cinta seseorang terhadap belahan jiwanya. Seperti seorang wanita mencintai laki-laki pujaan hatinya. Di dalam hatinya hanya ada pria itu. Apapun yang pria itu lakukan, baik atau buruk, tetap terlihat baik dan sempurna di mata sang wanita. Semua kebaikannya dibesar-besarkan, semua kekurangannya dimaafkan dan dilupakan, atau malah dipandang sebagai hal yang baik, dan membuat sang wanita semakin mencintai pujaan hatinya. Begitulah cara saya mencintai diri saya. Saya mencintai semua kebaikan dan keburukan yang ada di dalam diri saya. Di dalam hati saya tidak ada lagi tempat untuk mencintai seorang belahan jiwa karena setengahnya sudah dipenuhi sepakbola dan orang-orang terdekat saya, sementara setengahnya lagi sudah dipenuhi diri saya sendiri. Tapi, sama halnya seperti wanita yang mencintai pria pujaannya sepenuh hati, kadang-kadang saya terluka dan dikecewakan oleh orang yang sangat saya cintai, yaitu diri saya sendiri. Begitu kecewanya sampai rasa cinta saya berubah menjadi kebencian. Dan itu membuat saya merasakan dua perasaan yang sama menyakitkannya: dibenci dan membenci. Saya merasakan sakit karena kebencian yang saya rasakan pada orang yang sangat saya cintai, sekaligus rasa sakit karena dibenci orang yang saya cintai, keduanya adalah diri saya sendiri. Perasaan yang sungguh kompleks.

Tapi memaafkan diri sendiri adalah hal paling mudah untuk dilakukan. Selama dosa yang dilakukan tidak merusak diri sendiri dan orang lain yang dicintai. Jadi, saya kembali mencintai diri saya seperti adanya.

Saya adalah orang yang penuh dengan cinta. Cinta menguasai seluruh kehidupan saya. Apapun yang saya lakukan adalah demi orang yang saya cintai. Karena itu, prioritas utama saya di dunia ini adalah orang yang paling saya cintai, yaitu diri saya sendiri. Dan cinta itu membuat saya rela melakukan apa saja demi mencapai yang terbaik untuk diri saya sendiri.

Saturday, December 4, 2010

Saya adalah Tokoh Utama (Monday, August 28, 2006)

Diri sendiri menjadi tokoh utama, kerabat menjadi pemeran pembantu, dan orang-orang di sekitar kita menjadi para figuran. Lihat ke sekeliling. Siapa nama penghuni rumah tiga rumah dari rumah kita? Tidak tahu. Siapa dia? Tidak tahu. Apa perkerjaannya? Tidak tahu. Mengapa rumah-rumah itu ditinggali? Tidak tahu. Tapi kalau kosong pasti aneh rasanya. Ya, karena itu harus ada pemeran figuran yang memerankan tetangga pada serial TV. Pada masa yang serba primitive, yang tinggal di sebelah rumah kita adalah A si tukang kayu, B si tukang roti, C si dukun beranak. Tapi di zaman kita hidup sekarang, mereka semua bernama tetangga. Hantu. Siapa dia? Mahluk yang menyeramkan? Orang takut padanya tanpa menyadari bahwa si hantu pernah jadi manusia juga, pernah jadi anak kecil juga, mungkin meninggal sebelum beranjak dewasa. Ia pernah menjadi manusia juga, manusia yang takut hantu. Mobil-mobil dan motor di jalan. Mereka semua figuran. Karena kita tahu hari Senin akan macet total, maka pada hari itu mereka bersama-sama bergerak lambat. Seorang pengemudi kesal saat bersinggungan dengan mobil lain. Lalu pengemudi kedua mobil bersiteru tanpa pernah saling mengenal. Dia adalah pengemudi, tokoh utama, protagonist. Pengemudi lainnya adalah pemeran pembantu yang antagonis. Pada zaman di mana semua manusia menjadi tokoh utama bagi dirinya masing-masing, semua yang bertentangan dengan tokoh utama tersebut secara otomatis akan menjadi tokoh antagonis yang selalu salah, selalu jahat, dan harus selalu kalah, tidak boleh menang. Tokoh utama harus selalu menang. Jadi, siapa yang seharusnya menang dan siapa yang seharusnya kalah? Masing-masing individu adalah tokoh utama dan juga pemeran pembantu, mungkin juga figuran. Setiap individu adalah si tokoh protagonist dan juga antagonis. Lagipula, tokoh utama tidak selalu benar dan juga tidak selalu menang. Jadi, dalam hidup ini, haruskah selalu ada yang menang dan kalah?

Bu Enny, Masa SMA, Surgaku (August 26, 2006)

Begitu bangun pagi hari ini, entah kenapa pikiranku langsung dipenuhi bayangan masa SMA. Suasana kelas, suara Bu Enny, caranya berbicara, caranya mengajar, caranya menegurku, melemparkan pertanyaan padaku. Entah kenapa setiap kali membayangkan suasana kelas saat pelajaran, yang pertama terbayang adalah pelajaran Bu Enny. Pelajaran yang paling kubenci, tapi ternyata paling berkesan. Lebih berkesan daripada semua pelajaran yang kusukai, Sejarah, Matematika, Olahraga, Fisika….

Aku masih ingat bagaimana suara Pak Gatot, Pak Katni, Pak Arbai, Bu Siwi, Bu Panca, Bu Rini, semuanya! Berikut cara mereka bicara dan mengajar, dan juga menegur atau melempar pertanyaan padaku. Aku masih ingat cara mereka berusaha melucu. Tapi aku butuh usaha untuk membayangkannya secara jelas. Akhir-akhir ini, suara Bu Enny dan flash back saat-saat beliau mengajar sering muncul secara tiba-tiba dalam pikiranku.

Intinya, kurasa aku sangat, sangat, sangat, sangat merindukan masa SMA-ku! Seringkali aku berharap bisa kembali mencuri bola dari gudang dan berlari ke lantai tiga sambil menyembunyikan bola dalam dekapanku. Lalu kutantang siapapun untuk merebut bola dariku. Jogo bonito PJ yang sangat kurindukan. Aku menyesal tidak melakukannya sejak kelas 1. Tapi aku yakin, kalaupun aku melakukannya sejak kelas 1, aku tetap tidak akan pernah puas untuk melakukannya. Aku kecanduan main bola. Aku kecanduan Jogo Bonito. Aku rindu saat-saat di mana aku tidak perlu mencari lapangan untuk bisa bermain bola. Aku rindu saat mencari teman bermain terasa begitu mudahnya.

Ya, aku rindu masa itu. Aku juga berharap bisa kembali di masa aku tertidur bosan di samping Sisi dalam setiap pelajaran. Tapi aku kaget menyadari bahwa, yang paling kurindukan dari masa SMA ternyata adalah suasana kelas yang membosankan. Dan betapa lamanya waktu berjalan, dan betapa indahnya suara bel tanda jam pelajaran berakhir. Aku rindu semuanya. Aku melakukan apapun demi membuat waktu terasa pendek. Tapi begitu pulang sekolah, begitu semua kegiatan belajar yang membosankan itu berakhir, aku sadar kalau waktuku menikmati masa SMA semakin tipis. Aku rindu segala hal yang kubenci di masa SMA.

Nah, selama ini aku tidak pernah puas akan gambaran tentang surga. Apakah surga merupakan sebuah taman indah di mana semua manusia beramal saleh bisa mendapatkan segala keinginan? Membosankan! Apakah surga merupakan padang rumput luas yang subur dan dipenuhi bunga, dan di sana aku bisa makan yang enak-enak? Membosankan! Apakah pantai dengan laut yang tenang dan burung camar berterbangan? Membosankan! Maksudku, bayangkan! Bagaimanapun surga itu, aku harus tinggal di sana selamanya bila aku cukup saleh untuk bisa masuk ke sana. Selamanya!?

Seindah apapun tempat, semudah apapun aku mendapatkan makanan enak, seenak apapun makanannya, tidak akan membuatku bahagia kalau tidak ada drama, tidak ada pertandingan sepakbola, tidak ada perjuangan untuk mencetak gol, tidak ada bahan untuk ditulis, dan tidak ada yang membutuhkan ide-ide kreatifku. Apapun surga itu, taman, pegunungan, hutan, pantai, awan, atau tempat yang belum pernah kulihat sekalipun, tidak akan pernah semenyenangkan dunia kalau di sana tidak ada dinamisme. Jadi, kupikir, surga pastilah suatu masa yang paling menyenangkan dalam hidup seseorang. Bagiku, tempat itu bukan taman, bukan padang rumput, bukan langit penuh awan, bukan pantai atau apapun. Surgaku adalah bila di akhirat sana aku kembali menikmati masa SMA-ku.

Wednesday, December 1, 2010

Pohon Pisang dan Pohon Cemara (June 28, 2006)

Hari ini saat melewati tol dan melihat deretan pepohonan di pinggir jalan, aku berpikir dengan bangga, Indonesia adalah tempat di mana pohon cemara dan pohon pisang bisa tumbuh berdampingan. Bukankah itu hebat! Pohon cemara yang biasanya hanya tumbuh di daerah bersalju dan pohon pisang yang tumbuh di daerah-daerah tropis, dan keduanya bisa tumbuh di tempat yang sama di Indonesia. Masalahnya, kalau pohon yang begitu berbeda saja bisa hidup berdampingan, mengapa sesama manusia Indonesia bisa saling terpecah belah hanya karena sedikit perbedaan?

Apa Dampak Negatif Globalisasi, Teknologi, dan Modernisasi? (June 26, 2006)

Hmm…, aku suka sekali Bahasa Inggris 3 karena kami tidak pernah menulis, selalu saja bicara, bicara, dan bicara. Jelas jauuuuuh… sekali lebih enak dibanding Bahasa Inggris 1 dan 2 yang sama sekali tidak ada kesempatan bicara di depan kelas. Sebaliknya, dalam kedua kuliah menyebalkan itu, kami harus menuliiis terus menerus sampai tangan rasanya mau lumpuh!

Mending suruh nulis isi hati atau menulis tentang diri sendiri! Ini nggak! Nulisnya cuman kuis-kuis yang pertanyaannya seputar wacana-wacana yang buatku sih sama sekali nggak menarik! Wacananya tuh yang tentang teknologi-teknologi gitu! Paling temanya itu-itu aja! Teknologi, globalisasi, teknologi, globalisasi! Mending ditanya, apa pendapat kami tentang kedua hal itu! Tapi ini, kami malah harus menjawab pertanyaan tentang apa yang kami dapat dari wacana membosankan tentang dua hal membosankan tersebut!

Yah! Sebutlah aku tolol, dangkal, bodoh, pemalas, atau apa! Tapi aku memang benar-benar tidak perduli pada dua hal berbau modernisasi tersebut! Dua hal itu sampah! Tidak menarik sama sekali! Mengapa aku jadi curhat dan menumpahkan segala unek-unekku tentang dua hal itu ya? Padahal mulanya aku hanya sedang bercerita tentang kelas Bahasa Inggris 3 yang menyenangkan. Hmm…, mungkin karena aku kesal saja. Materi pelajaran apapun jadi tidak menarik lagi karena semuanya jadi dihubungkan dengan globalisasi, teknologi, dan modernisasi.

Pertanyaannya paling-paling itu-itu lagi: “Apa dampak positif dan negative dari globalisasi?” “Apa dampak positif dan negative dari teknologi?” “Apa dampak positif dan negative dari modernisasi?” Aku hanya punya satu jawaban untuk ketiga pertanyaan itu: “Ketiganya mempunyai dampak negative yang sama: materi pelajaran apapun jadi membosankan dan memuakkan!”

Aku orang yang sangat selfcentered dan egocentric (May 22, 2006)

Aku orang yang sangat selfcentered dan egocentric. Sejak dulu aku menyadarinya.

Aku suka membaca, tapi lebih suka menulis. Aku suka menonton pameran seni, tapi aku lebih suka menciptakan karya seniku sendiri. Aku suka main bola, tapi tidak suka nonton orang lain bermain bola. Jadi, satu-satunya hal yang paling kunikmati adalah menulis bacaanku sendiri, mengagumi hasil karyaku sendiri, dan memuji keindahan permainanku sendiri.

Monday, November 29, 2010

Menggambarkan Rasa Sayangku pada Bulbul (May 22, 2006)

Seperti inikah rasanya punya anak? Matanya adalah mata paling indah dan teduh yang pernah kulihat. Ekspresi wajahnya adalah yang paling lucu dan menggemaskan yang pernah kulihat. Wujudnya adalah wujud terindah yang pernah kulihat. Setiap kali melihatnya, perasaanku berbunga-bunga. Setiap saat aku selalu ingin bersamanya. Setiap kali bertemu dengannya, kelelahanku, seberat apapun, hilang begitu saja. Setiap kali melihatnya tidur, hatiku damai bukan main. Aku tak berani menimbulkan suara sekecil apapun, takut mengganggu tidurnya yang nyenyak. Aku tidak pernah bisa marah padanya karena ia memang tidak pernah membuatku marah. Aku hanya marah kalau ia mulai membuatku khawatir akan keselamatannya. Kadang aku marah karena ia merepotkanku. Tapi itu hanya sesaat. Kemarahanku itu menghilang dalam hitungan detik. Aku sedih saat ia tidak mau makan. Aku sedih saat ia meninggalkanku, mengacuhkanku walaupun aku berusaha sekuat tenaga untuk menarik perhatiannya. Aku rela melakukan apapun demi membuatnya bahagia. Aku selalu berharap ia bertumbuh besar dan sehat. Setiap hari aku berharap ia tumbuh semakin besar dan semakin besar lagi. Saat melihatnya dengan anak lain seusia atau lebih tua darinya, aku selalu membandingkan dan menjadi begitu bangga karena melihat anakkulah yang bertubuh paling besar. Namun di mataku, ia akan tetap dan selalu menjadi bayiku yang kecil mungil dan tidak pernah tumbuh besar. Ialah yang paling pintar, sikapnya paling baik, tingkah lakunya paling santun, suaranya paling merdu, langkahnya anggun dan gagah. Kalau mau ditambahkan terus, tulisan ini tidak akan pernah ada habisnya. Aku tidak pernah bisa berhenti mengaguminya. Sebau apapun tubuhnya karena belum mandi berhari-hari, bagiku, tetap saja aroma tubuhnya adalah aroma paling harum di hidungku. Walaupun aku begitu jijik pada air seni dan air liur, tapi tidak masalah bagiku terkena air seni dan air liur dari mulutnya yang indah. Semua perasaan itu kurasakan pada Bulbul. Anakku. Sampai kapanpun ia akan tetap terlihat seperti anjing kecil bagiku.

Aku Kecewa Pada Keadaan Ini (Thursday, May 18, 2006)

Malam ini, saat menonton final Champion entah kenapa aku merasa banyak hal di dunia ini yang mengecewakanku dan ingin kurubah. Apakah orang berpikir aku terlalu suka ikut campur? Ya. aku mungkin memang suka ikut campur masalah orang lain. Orang miskin ditindas, sebenarnya bukan masalahku. Anak-anak kecil disuruh mengamen dan mengemis, bukan masalahku juga. Wanita-wanita miskin diperkosa dan pemerkosanya bebas saja, bukan masalahku. Secara tidak langsung, ya. tapi secara langsung, bukan. Tapi bila kalian dirampok di tengah kerumunan orang dan orang-orang memperhatikan saja, apakah kalian berharap orang-orang itu tidak akan ikut campur? Kalau kalian orang miskin, kalian berharap orang lain tidak ikut campur karena kemiskinan itu masalah kalian? Kalian lebih berharap mereka menjadikan kalian sebagai alasan untuk bersyukur?
Orang-orang menyedihkan itu hanya berpikir untuk jadi kaya raya. Mereka pergi ke masjid, ke gereja, bersyukur pada Tuhan karena di Negara ini masih begitu banyak yang lebih miskin dari mereka. Ya Tuhan! Mereka bersyukur atas sesuatu yang tak patut disyukuri!

Ketakutanku akan Menjadi Tua dan Berkeluarga terus Berlanjut (Tuesday, May 16, 2006)

Untuk kesekian kalinya dalam hidupku, aku merindukan sesuatu yang takkan pernah kembali. Masa SMA.
Hari-hari di mana aku sudah tak pantas lagi mengenakan seragam SMA telah tiba. Tadi aku membayangkan OSPEKTI 2005 di mana Nitha mengenakan seragam putih-putih. Tidak pantas. Lalu aku membayangkan Dinda, Nindy, Amanda, Vania, semuanya. Dan aku sendiri. Semua dalam bayanganku tampak tidak pantas mengenakan seragam SMA. Dan akhirnya masa itu akan datang. Masa di mana semua alumni PJ lulusan 2004 telah menikah dan berkeluarga. Tidak ada lagi kumpul bersama untuk bergosip dan bermain sepakbola di Pingguin. Iqrar sudah memulainya. Semakin lama, semakin jarang saja aku berkumpul dengan teman-teman SMA-ku. Melihat Mama saat ini, aku jadi terbayang, di masa yang akan datang, mungkin kumpul bersama teman-teman SMA-ku hanya akan terjadi setahun sekali, dalam reuni yang sangat formal. Kami pergi ke reuni tahunan dengan mengajak keluarga masing-masing, lalu lebih sibuk mengurus anak-anak kami yang tidak mau makan, lalu kami harus cepat pulang karena anak kami bosan. Dan mungkin kami memang tidak bisa pergi tanpa mengajak anak.

Aku benci kehidupan berumahtangga (Tuesday, May 9, 2006)

Aku benci kehidupan berumahtangga sekaligus mencintainya setengah mati. Aku menikmati saat-saat berkumpul bersama keluargaku. Aku merindukan keluargaku setiap saat. Aku punya bayangan ideal tentang keluargaku di masa depan: aku, anak tunggalku, seekor anjing ras, dan seorang pembantu yang kuperlakukan semanusiawi mungkin. Namun bersamaan dengan itu, aku membenci dengan picik kehidupan berkeluarga. Keluarga, bagiku adalah tempat sepasang suami-istri saling menyalahkan karena kegagalan anak mereka, tempat suami mengkhianati istrinya dengan selingkuh, tempat istri terus meneror suami dengan tagihan uang belanja, anak-anak super nakal dan susah diatur meloncat ke sana kemari, membuat ibu mereka nyaris gila, dan segala kengerian lainnya. Kehidupan rumah tangga adalah terror.
Aku benci pada pria sekaligus menciptakan sosok pria idealku: cerdas, menyukai sastra dan seni, pemain bola handal, suka bertualang. Sambil menciptakan sosok pria ideal, aku terus menekankan pada diriku, pria seperti itu punya tiga kemungkinan: tidak ada sama sekali, ada tapi tidak akan bersedia menghabiskan sisa hidupnya denganku, atau ada dan mau menghabiskan hidupnya denganku, tapi segera berubah menjadi pria cerewet, kejam, tukang kritik, egois, dan doyan selingkuh, paling lambat setahun setelah menikah.
Solusinya: aku mau punya anak tapi tidak mau punya suami. Aku berencana mengadopsi anak. Tapi hati kecilku menginginkan darah dagingku sendiri. Dan kalau kuturuti, mungkin aku akan terpaksa membiarkan seorang pria meniduriku sampai hamil lalu meninggalkanku begitu saja. Tidak. Tentu saja aku tidak membiarkan harga diriku jatuh. Aku ingin mencampakan pria yang menghamiliku. Hidup seperti Angelina Jolie adalah hidup ideal bagiku. Tidur dengan pria manapun tanpa menikah, mengadopsi anak, dan bertualang ke manapun ia mau.

Sunday, November 21, 2010

Surga Bagiku… (Tuesday, May 9, 2006)

Bisa dikatakan, aku bukan termasuk orang yang percaya kenikmatan surgawi. Pepohonan, padang rumput terindah, buah-buahan terlezat, bidadari dan malaikat…, yuck! Walaupun tidak lebih buruk dari ibliz dan pemandangan orang disiksa di neraka, itu semua mengerikan! Membosankan! Bosan adalah neraka juga bagiku.
Tapi aku pembohong besar. Sebagai pembohong besar, mungkin aku bisa mendeskripsikan surga bagiku, para pembohong dengan jujur. Well, sebenarnya, bayanganku tentang alam baka keseluruhan. Semuanya adalah tentang rasa malu dan kejujuran. Di alam baka, semua manusia kembali berkumpul dan segala kebenaran terungkap di mata semua manusia.
Jadi, bagi para pembohong dan pendosa sepertiku, alam baka menjadi neraka karena semua orang tahu kebusukan kami dan kami dibenci. Lalu orang-orang yang paling sedikit melakukan dosa dan yang hidup paling jujur akan merasa begitu bahagia karena segala amal kebaikan dan kejujuran yang mereka jalani dalam kehidupan terungkap dan mereka semua jadi terhormat.
Yah, singkatnya, neraka bagiku adalah (ketika terungkap) kebenaran. Surga bagiku adalah tempat di mana semua mahluk menghormatiku dan segala sesuatunya berjalan sesuai kehendakku.

Caraku Menggambarkan Diriku (Tuesday, May 9, 2006)

Perlu seluruh kosakata yang ada dalam kamus Bahasa terlengkap untuk menggambarkan sebuah kepribadian yang kaukenal seutuhnya. Misalnya, kepribadian yang kukenal seutuhnya: aku. Aku merupakan sebuah pribadi yang begitu kompleks. Aku sinis dalam kata-kata, namun sangat optimis dalam hati. Walaupun selalu mengeluh dan berpikiran negative, seperti orang yang terlalu takut pada resiko sekecil apapun, namun dalam hati, aku selalu penuh harap dan mimpi. Mungkin juga kelelahan bermimpi itulah yang terwujud dalam kata-kata pesimisku. Aku layaknya seorang seniman sejati: eksentrik, murung, idealis, menikmati hidup walaupun tidak mau mengakuinya, kecewa pada realita, dan depresi. Aku adalah orang paling gembira saat berada di tengah keluarga dan teman-teman, namun, di kala sendirian bisa menjadi orang paling murung yang masih bertahan hidup di muka bumi. Anehnya, justru dalam kesendirian itulah kudapatkan kebahagiaan sejati. Aku suka menyiksa diri dengan halusinasi bahwa aku kesepian dan menyedihkan. Tapi aku sama sekali bukan orang depresi yang membenci diri sendiri dan berniat mengakhiri hidup dengan timah panas menembus kepala. Justru aku sangat mencintai diri sendiri lebih dari apapun di dunia ini. Dan aku juga sangat tergila-gila pada kehidupan duniawi sebobrok apapun. Bisa dikatakan, aku bukan termasuk orang yang percaya kenikmatan surgawi. Jangankan mengakhiri hidup dengan timah panas, merokok pun aku tidak sudi! Aku bukan benar-benar cermat dalam menjaga tiap detil kesehatan.

Saturday, November 20, 2010

Aku Ingin Semua Orang Bebas Berekspresi (Thursday, April 13, 2006)

Saat melihat foto Anggun C. Sasmi dengan baju yang terbuka di bagian perut, saya berpikir Anggun C. Sasmi adalah salah satu wanita Indonesia yang cukup beruntung bisa memamerkan perutnya yang rata tanpa diprotes sejumlah kalangan tertentu yang munafik dan tidak punya perkerjaan apapun.
Mengapa beruntung? Karena kupikir, hampir setiap wanita adalah exhibisionis. Semua wanita ingin dikagumi. Dan bagi yang memiliki tubuh indah, atau keindahan apapun dalam tubuhnya, kurasa sedikit banyak pasti mereka punya perasaan ingin menunjukkan keindahan itu. Dan wanita selalu ingin membuat pria terkagum-kagum melihat keindahan mereka.
Kurasa itu wajar. Dan wanita yang menonjolkan keindahan tubuhnya bukan berarti ingin memancing nafsu birahi pria. Tapi mereka ingin menunjukkan, pada pria maupun sesama wanita, inilah tubuh saya. Saya gemuk, tapi bentuk tubuh saya tetap indah. Saya langsing, payudara saya besar, pantat saya indah, tungkai saya panjang, kulit saya mulus, dan seterusnya. Menyenangkan, melihat wanita gemuk yang percaya diri dengan bentuk tubuhnya yang indah.
Benar! Cantik tidak selalu harus langsing. Kurasa cara wanita mengenakan busana yang menunjukkan keindahan tubuhnya, adalah bentuk rasa syukur dan cinta terhadap tubuhnya, apa adanya, dan itu baik sekali! Karena ada orang yang begitu tidak mencintai tubuhnya, sehingga mengenakan pakaian kegedean untuk menutupi tubuh yang membuat mereka malu itu. Padahal, sama sekali tidak ada yang salah dengan mereka.
Di saat iklan obat pelangsing dan lotion pemutih kulit bermunculan di mana-mana, seharusnya kita bersyukur masih ada wanita gemuk atau berkulit gelap yang bisa menerima dan menunjukkan dengan bangga apa yang mereka punya, dengan berani mengenakan busana yang tidak serba tertutup, namun masih wajar.
Pakaian adalah bentuk ekspresi manusia dan sewajarnya menjadi hak asasi setiap manusia, seperti halnya hak asasi manusia dalam memilih agama. Karena itu saya tidak heran kalau di Indonesia ini manusia tidak bisa bebas berpakaian.

Thursday, November 18, 2010

Ketakutan Terbesarku (Friday, April 7, 2006)

Aku menyedihkan. Saat memasuki usia remaja, aku masih tidak menerima keremajaanku. Aku masih ingin jadi anak kecil, dan aku merasa aku masih kecil. Kini aku telah beranjak dewasa! Aku akan segera menjadi 20 tahun! Tapi aku belum siap! Aku masih suka menangis dan merajuk. Aku masih labil, belum bisa mengendalikan emosiku. Aku belum mandiri, belum punya penghasilan, dan masih main the sims dan nonton nickelodeon. Aku tidak akan pernah siap untuk apapun yang menyambutku, dan saat aku telah menikmati kedewasaan nanti, masa tua pasti telah datang, dan aku tidak akan siap untuk menjadi tua. Dan saat aku berhasil menikmati masa tua, mungkin waktuku mati telah dekat, dan untuk yang satu itu, mungkin aku tidak akan pernah siap!
Aku takut mati. Aku takut sekali!
Aku akan jadi orangtua pemarah yang mudah tersinggung dan begitu takutnya untuk tidur karena tidak yakin masih ada hari esok. Ya Tuhan! setiap saat bayangan kematian menghantuiku. Aku takut jadi tua! Tapi aku juga takut mati muda!
Alam baka begitu mengerikan. Neraka adalah mimpi buruk. Tapi surga juga entah seperti apa. Aku percaya Tuhan. Tapi aku tidak percaya surga lebih nikmat dari dunia. Apakah di sana ada sepakbola? Apakah di sana ada film Hollywood dan serial TV? Apakah di sana ada komik, popularitas, dan baju keren? Apakah di sana orang hanya memakai baju serba putih, tidak membicarakan film dan komik, dan tidak lagi tertarik untuk main sepakbola? Apakah kalau sudah masuk surga, orang, bahkan aku, akan lupa pada asiknya main sepakbola? Atau setiap piala dunia, para penghuni surga turun ke bumi untuk ikut nonton pertandingan?
Yang jelas, aku tidak mau mati sebelum aku mencapai semua cita-citaku. membesarkan seorang pemain sepakbola professional, memelihara pittbull, melakukan sesuatu yang baik untuk kaum wanita, binatang, dan Negara Indonesia ini, dan bertemu dengan Ronaldo!

Pemikiran-pemikiran Buah dari Obrolan (Tuesday, March 21, 2006)

Aku terlalu menikmati mengobrol bersama Cherry. Cherry anak yang sangat menyenangkan. Kami membicarakan banyak hal. Huh! Sebenarnya aku ingin mengobrol lebih lama lagi…

Setelah mengobrol dengannya, aku jadi memikirkan banyak hal. Tentang orang, teman-teman, keluarga, karya seni, tapi terutama tentang kejujuran dan kepribadian.
Yah, kurasa ia begitu jujur padaku. Aku juga enak saja menceritakan apapun secara jujur padanya. Cherry bilang, ia hanya bisa bicara jujur padaku. Ia juga selalu merasa nyaman denganku. Dan katanya lagi, ia bukan satu-satunya orang yang berkata seperti itu. Beberapa orang lain juga mengatakan merasa nyaman denganku karena pembawaanku yang tidak menuntut. Kenapa aku jadi berpikir, mungkin karena aku bukan siapa-siapa, bukan apa-apa, dan tidak punya apa-apa, jadi orang merasa nyaman denganku: orang yang tidak akan pernah membuat orang lain merasa minder. Hahahaha!

Lalu, aku menyimpulkan satu hal. Karena menurutku dosa itu sangat nikmat dan kebanyakan perbuatan berpahala itu justru sangat menyebalkan dan berat, aku jadi berpikir, seharusnya setiap hari manusia mengucap syukur pada Tuhan atas segala kenikmatan yang tak berdosa. Puji syukur pada Tuhan, makan tidak dosa, tidur tidak dosa, menulis dan menggambar tidak dosa, main bola tidak dosa, dan seks dalam ikatan pernikahan tidak dosa. Alhamdulillah!

Menertawakan Kekonyolan Masa Lalu (Friday, March 11, 2006)

Aku di Masa Kuliah menertawakan Kekonyolan Masa SMA seperti aku yang sekarang menertawakan kekonyolan masa kuliah. Inilah tulisanku dulu:
“Aku paling suka membongkar-bongkar tumpukan barang-barang lama dan menemukan harta karun paling berharga, tentu saja kenang-kenangan dari masa SMP dan SMA-ku yang indah. Kertas-kertas berisi gambar-gambar, coretan, tulisan, surat-suratan, rencana cerita untuk novel atau komikku, juga kertas-kertas ulangan berisi jawaban yang lucu-lucu. Ternyata aku begitu brutal dan konyol saat SMP dan SMA. Aku disuruh Pak Aksol membuat kalimat peringatan berikut kasusnya dan aku membuat kasus anak kecil main sepeda di pinggir jurang dengan kalimat peringatan, “Awas ya, Dik, kalau kau jatuh ke jurang, nanti otakmu berserakan!”
Dan setelah membaca tulisan-tulisanku yang kutulis di buku surat, juga melihat foto-foto SMP-ku…, Astagfirullah, Masya Allah, Subhanallah! Ternyata aku itu dulu amat sangat aneh dan norak!! Hahahahahaha!!
Ada juga segumpal catatan dan coret-coretan beragam formasi tim sepakbola impianku. Yah, segumpal mimpi. Dalam tim yang kubuat selalu ada Nesta, Maldini, Samuel, dan Carlos sebagai bek, Figo, Davids, Zidane sebagai gelandang, Ronaldo dan Del Piero sebagai striker, dan untuk kipper, biasanya hanya berkisar Toldo, Peruzzi, dan Buffon. Kadang-kadang kumasukkan juga Sinisa Mihajlovic atau Javier Zanetti, tergantung bagaimana terakhir kali kulihat permainan mereka. Pelatih favoritku ganti-ganti. Minggu kemarin Dino Zoff, minggu ini Fatih Terim, lalu minggu depannya lagi Capello. Pokoknya pada musim itu semua yang kusebutkan bermain di Liga Italy kecuali Carlos. Saat itu aku memang penggemar berat Liga Italia. Dan saat itu Liga Italia memang sedang bagus-bagusnya. Gengsinya masih lebih tinggi dari Liga Champion sekalipun. Liga Inggris dan Liga Spanyol apalagi!
Tapi sebenarnya, tim impianku adalah sebuah tim sepakbola di mana aku menjadi striker andalan dan teman-teman perempuan di sekolahku menempati posisi lainnya.
Sejak SMP sampai SMA aku suka sekali mengumpulkan cewek-cewek yang jago main bola dari setiap kelas, lalu kubuat formasi ideal bagi tim impianku itu. Yah, demikian gila bolanyalah aku dulu. Setiap kali mendapat kertas buram yang seharusnya digunakan untuk coret-coretan saat ujian Matematika, kertas itu malah habis kucoreti dengan berbagai formasi bola, dream team, dan strategi khayalanku. Hebatnya, nilai ujian Matematikaku hampir selalu tertinggi di kelas. Bahkan saat SMP, try out ke-3 atau ke-4 aku mendapat peringkat ke-2 tertinggi satu angkatan dengan nilai matematika 100. Aku sudah lupa bagaimana rasanya menjadi secerdas itu.
Dan aku pada saat SMP belum mengenal pacaran dan berteman yang baik. Dalam buku surat aku terus-terusan curhat tentang masalah yang sama sekali tidak penting… Ronaldo!! Aku bisa mengeluh panjang lebar satu halaman penuh, malah lebih, hanya karena Ronaldo digosipkan selingkuh. Kalau dipikir, kegilaanku pada sepakbola memang sangat bodoh. Sudah saatnya kuhentikan kegilaan itu.”

Sebenarnya Aku Orang yang Religius dengan Cara Berpikirku Sendiri (Saturday, February 11, 2006)

Ya, Allah…, mengapa begitu sulitnya untuk melaksanakan kewajiban solat lima waktu? Mengapa begitu sulit untuk selalu berjalan di jalan-Mu? Belum seminggu aku berusaha menjalankan solat lima waktu, aku sudah merasa begitu bosan. Apalagi setelah memikirkan, untuk menjadi hamba-Mu yang setia, aku harus melakukan solat itu lima kali sehari! Tujuh hari seminggu. Tigapuluh hari sebulan, duabelas bulan setahun, dan entah berapa tahun lagi umurku, yang kuharap masih panjang. Apakah ini yang membuat orang-orang soleh (atau yang berlagak soleh) ingin cepat mati? Karena di surga (place where they think they’ll be) mereka tidak perlu melakukan ini lagi? Solat? Apakah ini sebenarnya yang membuat surga begitu indah? Tidak adanya kewajiban untuk melakukan apapun? Termasuk solat lima waktu yang membosankan ini?
Kenapa aku tiba-tiba merasa bosan? Setan kah yang membuatku bosan? Padahal, terakhir kali aku solat, aku masih melakukannya dengan sepenuh hati. Kurasa, mungkin aku memang sedang bosan saja. Atau sedang merasa hampa karena tidak ada yang terjadi hari ini?
Bagi orang yang bosan belajar, mereka pasti salah menempatkan belajar sebagai kewajiban mereka. Seharusnya mereka menempatkan belajar sebagai kebutuhan mereka. Dan itu memang benar. Semua orang butuh belajar. Tapi solat?
Solat adalah mutlak kewajiban. Kalau dikatakan kebutuhan, yah, aku butuh mengucap syukur pada-Mu, ya Allah. Tapi itu lebih seperti… sekedar cerminan kesadaran atau tahu diri. Seperti bila seorang teman baru saja membantuku dan sebelum aku sempat mengucapkan terimakasih ia sudah pergi. Aku memang merasa tidak enak karena belum bilang terimakasih. Tapi aku tidak merasa rugi. Seperti itulah rasanya bila aku tidak solat.
Aku solat karena aku takut. Kalau aku tidak solat, aku tidak bisa protes kalau Allah membiarkan hal buruk akan terjadi padaku. Kalau aku tidak solat, aku tidak bisa masuk surga, aku akan masuk neraka.
Tuhan Yang Maha Besar? Apakah Kau segitu gila hormatnya? Kalaupun ya, aku maklum. Kaulah Sang Maha Pencipta, Maha Berkehendak, Maha Tahu, dan Maha segalanya. Kalau aku mampu menciptakan segala yang Kau ciptakan, mampu mengkehendaki segala yang Kau kehendaki untuk terjadi, mampu mengetahui semua yang Kau tahu, maka aku pasti akan menjadi Maha Gila Hormat dan Gila Sembah seperti dirimu ya, Allah. Aku tidak benci padamu, ya, Allah. Sifat gila hormat dan gila sembah memang buruk kalau dimiliki manusia. Tapi kalau Kau yang memilikinya, ya, Allah, kurasa itu sifat yang wajar-wajar saja.
Al-Quran adalah kumpulan dari perintah-Mu. Kalau begitu, sudah pasti Kau yang meminta untuk selalu disembah, sedikitnya lima kali sehari. Tapi, yah, U deserved it, God. You’re the One.
Lewat Al-Quran, perwujudan kata-kata-Mu, aku jadi tahu semua kebaikan yang kuterima berasal dari-Mu. Kalau begitu, sebenarnya Kau punya sifat riya juga, ya, Allah. Tapi, yah, sekali lagi, Kau berhak. Toh, Kau satu-satunya yang bisa kuandalkan kalau aku punya masalah. Toh Kau juga satu-satunya yang selalu bisa menolong kalau aku kesusahan. Kau juga satu-satunya yang bisa dan tidak pernah keberatan untuk selalu melindungiku tanpa tidur. Kau juga satu-satunya yang bisa mengabulkan semua permintaanku. Dan Kau juga yang paling tahu segalanya. Jadi, tidak ada gunanya aku mengeluhkan kewajiban ini bukan? Toh ilmuku tidak akan pernah sampai sepermilyar ilmu-Mu, jadi Kau pasti lebih tahu.
Baiklah, akan kujalani saja kewajibanku ini. Aku baru berpikir, kalau saja ada satu manusia yang bisa melakukan semua yang Allah lakukan padaku, aku pasti tidak akan pernah merasa bosan untuk mengucapkan terima kasih pada orang itu, dan berharap ia Tuhan agar aku bisa menyembahnya. Jadi, kurasa aku bersyukur sekali lagi karena hanya Allah yang bisa melakukan semua kebaikan padaku. Jadi, aku hanya perlu menyembah-Nya.

Aku baru menyimpulkan satu hal lagi yang bisa menjawab sebuah pertanyaan di benakku. Selama ini aku bertanya-tanya, mengapa orang yang rajin beribadah, sekali saja meninggalkan ibadahnya, hal yang sangat buruk terjadi. Seperti Tante Lintang, yang hanya karena lupa berdzikir saja sudah dihukum Allah dengan peristiwa kerampokan di jalan. Atau Mama yang sudah solat lima waktu dan selalu berdoa setiap kali berpergian, tapi Kamis lalu mengalami kejadian mengerikan itu di jalan! Padahal, aku yang tidak pernah beribadah, sedikit saja beribadah, hal yang sangat baik terjadi padaku. Tadinya kupikir itu tidak adil. Kalau keadaannya begitu, lebih baik jadi orang yang tidak pernah beribadah saja, bukan?
Tapi mungkin itu justru sangat adil kalau dilihat dari segi pengetahuan.
Orang yang rajin sekali beribadah bisa begitu rajinnya karena mereka sudah mengetahui segalanya tentang Allah dan sudah merenung banyak-banyak, sehingga mereka merasa begitu perlu untuk selalu beribadah. Ketika mereka melalaikan ibadahnya, maka mereka telah sengaja melakukan sesuatu yang sudah jelas mereka sadari salah. Seperti seorang Nabi yang dituntut selalu sempurna, tidak boleh berbuat dosa sedikitpun. Dosa sekecil apapun yang mereka lakukan akan mendapat balasan besar dari Allah.
Sedangkan, orang yang jarang beribadah pasti orang yang belum tahu apa-apa sehingga tidak tahu apa gunanya mereka beribadah. Karena itulah, niat mereka untuk melakukan ibadah sedikit saja pasti begitu besarnya di mata Allah. Karena niat untuk memulai yang sedikit itu, cepat atau lambat akan menjadi awal dari suatu amal yang besar.

Aku Tidak Ingin Kehilangan Ayahku (Mon, February 6, 2006)

Aku kaget sekali ketika pagi ini Mama mengagetkanku dengan berita yang sangat mengagetkan itu. Om Dadang, ayah Talitha baru saja meninggal dunia. Ya ampun! Baru satu minggu yang lalu aku dan adikku menemani Mama menjenguk almarhum di RS Fatmawati. Sore ini pun aku dan Mama melayat. Sebenarnya aku takut. Aku mungkin tidak siap menghadapi kesedihan Talitha dan saudara-saudaranya. Saat tiba di sana, suasananya memang begitu sendu. Aku tidak tahan melihat kesedihan di wajah Willy yang terus berusaha menahan tangisnya. Aku ingin menangis. Aku seolah bisa membayangkan dan merasakan kesedihannya. Aku lebih sedih lagi saat melihat tangisnya pecah di pemakaman. Akhirnya anak yang begitu muda itu tidak kuat lagi membendung air matanya. Pemandangan yang lebih memilukan adalah melihat anak itu menangis sambil memandangi foto almarhum ayahnya. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana rasanya kalau aku tidak bisa lagi melihat wajah Bapak, selain dengan melihat fotonya. Suatu saat, cepat atau lambat, saat itu akan datang. Tapi untuk saat ini, aku masih bersyukur Bapak masih selalu ada untukku dan adik-adik. Aku sangat takut kehilangannya. Selama ini aku sangat tidak tahu diri. Selalu saja menulis hal-hal jelek tentang ayahku di diary dan seringkali membencinya karena hal-hal kecil. Padahal ayahku adalah orang yang paling berarti dalam hidupku. Karena ia selalu membuatku senang, nyaman, aman, bangga, dan mau melakukan segala hal demi menyenangkan hati anak-anaknya. Ayahku memang yang terbaik.

Idealisme yang Terkikis (November 8, 2005)

Aku jadi ingat pertanyaan Rahman, “Lo masih fight the system?” (Maksudnya adalah kapitalisme)
Aku yang sekarang adalah anak muda kapitalis yang suka menghamburkan uang hanya untuk mengikuti selera pasar, dan terutama nafsu kewanitaanku untuk membeli perhiasan yang tidak perlu. Ya, aku sudah mengikuti system karena menyadari system begitu susah dilawan oleh orang seperti aku. Aku bukan Che Guevarra, dan aku tidak mau jadi Che. Aku pemalas dan pesimis, jadi aku malas berjuang melawan system. Karena itu aku kagum pada diriku sendiri di masa SMA dulu. Aku pembangkang, terlalu idealis, tidak perduli pada penampilan dan kata orang lain.
Rahman bertanya apakah aku masih “fight the system”? Kukatakan tidak, aku mulai terbawa arus.
Tapi ia salah kalau berpikir aku berhenti memperjuangkan cita-cita dan ideologiku. Aku masih berjuang demi cita-cita dan ideologiku. Tapi prioritasku sudah berubah. Aku kini lebih memfokuskan diriku untuk memperjuangkan cita-cita terbesarku, hidupnya sepakbola wanita di Indonesia, dan ideologiku: bahwa binatang memiliki hak untuk dilindungi dan disayangi, sama dengan manusia. Aku akan berjuang untuk semua binatang yang tertindas dan diperlakukan tidak baik.

Apakah Aku Akan Terus Mengeluh seperti Ini? (August 25, 2005)

Semalam di rumah pada hari sekolah seperti ini, membuatku kembali pada masa-masa SMA-ku. Masa-masa aku tinggal di rumahku yang sesungguhnya. Rumahku yang nyaman. Teringat kembali keseharianku di SMA.
Setiap pagi, suara yang pertama kali kudengar saat aku bangun tidur adalah suara ketukan di pintu, lalu suara Mama yang, walau dari jarak dekat, setengah berteriak memanggil nama-nama kami untuk menyuruh bangun. Jam 5 pagi. Mama biasa membangunkan kami jam 5 pagi. Menyuruh kami solat, mengomeli kami karena tidur larut malam sehingga tidak bisa bangun pagi, dan memperingatkan bahwa bila di antara kami ada yang belum siap berangkat pada jam 6.30, maka beliau akan meninggalkan kami begitu saja. Namun kadang Mama membangunkan dengan lembut, suaranya hangat, memanggil kami dengan panggilan sayang, mengelus punggung untuk membangunkan kami. Bahkan kadang Mama membangunkan dengan memeluk tubuhku yang sedang tidur.
Setelah Mama berusaha membuat kami terbangun dengan segala cara, dengan malas aku bangkit dari pembaringanku. Aku berusaha menggeliat sedemikian rupa untuk membuat tubuhku lebih segar dan tergerak untuk bangun, namun setiap kali aku menggeliat, aku malah merasa semakin nyaman di tempat tidur sehingga semakin tidak ingin bangkit. Aku sangat mengantuk. Aku pun menunggu Mama pergi. Kadang-kadang Mama langsung pergi saat aku berlagak akan turun dari tempat tidurku di atas. Lalu setelah Mama pergi aku kembali tidur. Maksudku, aku akan benar-benar bangun dan bersiap ke sekolah saat jam telah menunjukan jam 6 kurang. Namun saat membuka mata, tiba-tiba saja jam sudah menunjukan pukul 6 lewat. Sekonyong-konyong Mama sudah kembali ke kamarku, mengomel dengan gemas karena menangkap basah aku tertidur kembali.
Namun kadang Mama benar-benar mengawasi dan menunggu sampai aku benar-benar turun dari tempat tidur, wudhu, dan solat. Kalau sudah begitu, aku akan berwudhu, solat cepat-cepat, lalu berpura-pura membaca doa sesudah solat, padahal aku sedang tidur. Kalau sudah begitu, Mama tidak mencurigaiku.
Setelah rutintas bangun pagi yang konyol itu, selanjutnya adalah mandi. Kami mandi bergantian karena kami bertiga berbagi satu kamar mandi. Biasanya, saat dibangunkan pagi-pagi, aku memaksa adikku, Deany untuk mandi lebih dulu sehingga aku bisa melanjutkan tidurku sampai ia selesai mandi. Apalagi mandinya lama. Jadi, bila Mama marah karena aku belum mandi juga dan masih tidur saja, aku bisa beralasan Deany yang mandinya lama. Adrian biasa mandi paling belakangan.
Yang paling menyenangkan dari rutintas pagiku di rumah adalah sarapan. Meja makan di rumah kami bundar. Seperti meja bundar King Arthur yang melambangkan kesamaan derajat. Tidak ada yang duduk di pojok, tidak ada yang duduk di sisi panjang atau pendek, pokoknya semua duduk di sisi lingkaran. Semua sama. Bapak selalu duduk di kursi terdekat dengan kulkas. Mama di sebelah kanannya. Adrian di sebelah kanan Mama, Deany di sebelah kiri Bapak, aku di antara kedua adikku, membelakangi televisi. Kami selalu duduk dengan posisi seperti itu pada saat sarapan, makan siang, makan malam, dan berkumpul untuk menonton VCD. Bedanya hanya bila sedang menonton VCD tentu saja aku tidak membelakangi televisi.
Karena kami memesan katering setiap hari, maka kami makan katering untuk makan siang dan makan malam. Hanya saat sarapanlah Mama selalu memasak untuk kami. Masakan Mama sangat istimewa. Mama bangun jauh lebih pagi dari kami untuk menyiapkan spaghetti, sup brokoli, nasi goreng, omelet keju, banyak sekali masakan enak buatan Mama. Walaupun kadang hanya menyiapkan mie rebus atau nasi dan telur dadar, tetap saja rasanya sangat enak.
Kadang kami sudah siap tepat waktu sehingga Mama mengemudi dengan tenang dan santai. Namun kami lebih sering membuat Mama menunggu dan hampir meninggalkan kami. Biasanya aku panik kalau mendengar Mama sudah mengeluarkan mobil dari garasi dan aku belum siap. Karena selanjutnya ia akan menekan klakson dengan galak dan aku tidak pernah suka mendengarnya. Sekarang aku rindu suara klakson itu.
Lalu rutintas jalanan. Mama mengemudi dengan mulut yang sibuk mengomel, entah itu mengomeli kami karena selalu saja lamban, entah memaki sesama pengemudi yang ngotot, atau pengendara motor yang membahayakan. Pokoknya, setiap pagi selalu dipenuhi omelan dan makian. Mama lebih tenang bila Tante Linda menemaninya, atau bertemu Bu Enny di perjalanan dan mengajak beliau ikut mobil kami. Dulu Adrian dan Deany masih SMP. Jadi, setelah menurunkan mereka di depan SMP PJ, aku dan Mama melanjutkan perjalanan berdua saja, kecuali setelah Yuda mulai ikut mobil kami atau sewaktu Wulan ikut mobil kami. Aku seringkali bercerita pada Mama. Aku menceritakan apa saja, meminta pendapatnya sehingga aku bisa mendebatnya dan terjadilah perdebatan sengit di mobil, bahkan terkadang sampai merusak suasana di antara kami. Konyol sekali.
Kami tiba di sekolah. Aku mencium kedua pipi Mama sebelum keluar dari mobil. Saat keluar dari mobil aku merasakan kesejukan udara pagi yang menyelimuti sekolahku. Pak Edi sudah bersiaga di bangku kayu depan gerbang sekolah, siap menegur kesalahan dalam penampilan anak-anak yang baru tiba. Aku seringkali tiba di sekolah bersamaan dengan Ayu. Aku senang sekali bila tiba bersamaan dengannya. Kami berjalan bersama ke kelas.
Aku merindukan kelas yang masih sepi di pagi hari, teman-teman yang berdatangan satu-persatu, lalu selanjutnya, menunggu dengan harap-harap cemas, apakah Sisi akan masuk atau tidak hari itu. Selanjutnya, guru yang masuk ke kelas, sampai SMA-pun kami masih saja memberi salam seperti anak SD: “Bersiap! Beri Salam!” aba-aba ketua kelas. Lalu kami bersama-sama berkata, “Selamat pagi, Pak!” Konyolnya SMA…
Hari pun dimulai. Sejuk pagi semakin menghilang, panas matahari pun datang. Udara di kelas semakin panas. Suara guru di depan kelas terdengar semakin membosankan, kecuali pada pelajaran Sejarah dan Matematika. Mood belajar semakin menciut, ngantuk datang, dan tidurlah aku di kelas, di sebelah sahabat terbaikku, Sisi. Kadang ia ikut-ikutan tidur, bersandar di bahuku, kadang ia mengganggu tidurku dengan tangan jahil atau wajah bodohnya, kadang ia masih sibuk mencatat, kadang ia mengobrol atau menulis puisi. Aku kangen Sisi.
Keluargaku bahagia. Rumahku bahagia. Aku saja yang dulu begitu bodoh untuk menyadarinya.
Setelah kuliah dan tinggal di kost, tidak ada lagi Mama yang selalu membangunkanku dengan lembut, maupun dengan galak. Hanya ada jam weker yang kadang lupa kunyalakan. Tidak ada lagi yang memaksaku solat, semuanya tinggal bagaimana kesadaranku untuk solat saja. Tidak ada lagi yang membuatkan sarapan untukku. Aku harus membuat sarapan sendiri, itupun kalau ada bahannya di kulkasku yang lebih sering kosong melompong. Sejak tinggal di kost, aku jarang sekali sarapan. Tidak ada lagi blazer yang mengantarku ke sekolah. Aku hanya bisa menumpang teman kostku yang bawa mobil kalau jadwal kuliah kami sama. Kalau tidak, terpaksa aku berjalan keluar kompleks untuk mencari ojek atau menunggu bis berjam-jam tanpa hasil.
Tidak boleh kusesali dan kukeluhkan. Pada masa SMA aku pun selalu mengeluh. Padahal kini aku merindukan masa-masa itu. Kehidupan selalu berubah. Suatu ketika aku sudah berkerja dan mempunyai rumah sendiri, barangkali aku akan merindukan masa-masa kuliah ini. Merindukan kamar mandi bagus namun jorok itu, merindukan kulkas kosongku, merindukan suara tante yang berceloteh tanpa henti, merindukan teman-teman kostku, merindukan Lippo. Dan pada saat itu, aku akan menyesalkan semua keluhan dan sumpah serapah yang kulontarkan selama ini.

Karena Aku Manusia (February 2005)

Aku belum cukup pintar untuk menyadari bahwa aku bodoh

Aku belum cukup jujur untuk mengakui aku ini pembohong

Aku belum cukup berani untuk mengatakan aku takut

Aku belum cukup kuat untuk mengakui bahwa aku lemah

Aku tidak akan pernah merasa cukup pintar, jujur, berani, dan kuat

Aku masih saja bodoh, pembohong, takut, lemah, dan tak mau mengakuinya

Karena aku masih saja manusia